Sabtu, 24 September 2011

Tembok Pertahanan Anak Remaja



Hindari bertengkar dengan anak remaja.
“Kebijakan yang paling buruk adalah menyerang kota yang memiliki tembok pertahanan. Menyerang kota hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir…”
Kutipan diatas dapat ditemui dalam salah satu sub bab buku Senandung Cinta dari Rumah Kayu yang sudah berulang kali saya baca.
Saya tertarik dengan strategi perang Sun Tzu ini.  Bukan hanya karena saya memiliki seorang anak remaja (yang justru tidak pernah bertengkar dengan saya!), namun karena bahasan pertengkaran diantara aroma cinta yang dihamburkan dari buku rumah kayu terasa begitu unik dan berbeda.

Usia remaja adalah usia labil seorang manusia. Masa transisi antara seorang anak yang akan berubah menjadi sosok manusia dewasa. Dimana masa kecil baru saja dilewati, tapi kematangan jiwa masih belum dimiliki.
Banyak kita temui, anak remaja yang ‘tersesat’ dalam kebanggaan ego pribadi. Pamer kehebatan semu, namun miskin karya dan prestasi. Mereka terlalu sibuk mencari jati diri, untuk melengkapi kematangan jiwa agar bisa disebut manusia dewasa.
Seringkali anak remaja juga merasa super dengan kebebasan yang dimilikinya. Mereka lupa bahwa batasan-batasan itu selalu ada. Batasan untuk berbuat sesuai norma, batasan untuk tidak melanggar aturan hukum, bahkan batasan untuk bersikap santun dan beretika pada orang-orang disekelilingnya.
Emosi yang meledak-ledak itu bukan untuk ditumpahkan dimana saja dan pada siapa saja. Emosi itu diberikan, agar anak remaja belajar menghagai dan berempati kepada orang lain. Agar anak remaja itu kelak pantas menyandang status sebagai manusia dewasa.
Di sisi lain, orang tua juga harus senantiasa waspada.
Anak remaja adalah tetap seorang anak yang sama. Anak yang dididik sejak dalam kandungan, diasuh pada masa balita dan diajarkan ilmu serta etika di usia dimana dia sudah mampu diajak berkomunikasi oleh orang tuanya.
Masa remaja adalah ‘hasil didik’ orang tua di masa sebelumnya, yaitu masa anak-anak. Bila bekal yang dimiliki seorang anak baik, maka baik pula seorang anak remaja.
Seorang anak yang dibekali dengan budi pekerti, kelak dia akan pandai untuk berempati. Namun bila seorang anak dibekali dengan banyak bentakan dan ancaman, tidak mustahil dia hanya akan menjadi menjadi seorang remaja anti sosial. Seorang perusuh di lingkungannya. Seorang anak remaja pendobrak norma.
Atau bahkan sebaliknya, dia akan menjadi orang yang tidak peduli dengan keadaan sekelilingnya dan hanya sibuk dengan kepentingan-kepentingan pribadinya.
Dalam buku disebutkan, bahwa banyak orang tua yang karena ego-nya seringkali menolak untuk mengalah, dan pertengkaran kecil yang sering berulang itu makin lama makin membesar sehingga menjadi ‘peperangan’ yang konsisten.
Menurut saya, sesungguhnya bukan hanya orang tua yang harus mengalah bila ada pertengkaran. Anak juga perlu tahu bahwa dia memiliki kewajiban untuk mendengarkan apa yang dibicarakan orang tuanya. Harapan orang tua terhadap dirinya. Keinginan orang tua untuk dihormati sekaligus dicintai.
Perbedaan pendapat itu hanya bisa diselesaikan, bila orang tua dan anak sama-sama mau mendengar dan didengar.


Orang tua yang terus menerus mengalah sebagai alasan pemaaf karena seorang anak remaja sedang berada di usia dan emosi labil, hanya akan membuat  anak remaja itu semakin tidak terkendali. Suka-suka melampiaskan emosi. Bahkan mungkin bisa membuatnya menjadi pribadi yang selalu lepas kendali.
Mereka bahkan tidak menyadari, bahwa orang tua adalah sosok yang perlu disayangi sekaligus dihormati. Karena sesungguhnya hanya dari cinta mereka, seorang anak remaja itu ada.
Bila anak remaja memiliki masalah hingga emosinya memuncak, mereka harus belajar untuk tidak menggunakan senjata bentakan pada orang tuanya. Mereka juga perlu menyadari bahwa komunikasi dalam suasana yang tenang akan jauh lebih menyenangkan.
Dengan begitu menjadi jelas, bahwa yang harus mengalah bukan hanya orang tua pada anak remajanya. Tapi juga seorang anak remaja pada orang tuanya.
Mengalah adalah pelajaran berharga bagi jiwa agar berani bersikap kesatria. Mengalah adalah pelajaran bagi logika agar pandai mengatur emosi.
Karena sesungguhnya, orang tua dan anak adalah satu kesatuan darah yang hanya dibedakan oleh usia dan masa.
Benang merah yang mengikat mereka, adalah cinta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar